Capres Mencuri Simpati Publik




Setelah melaksanakan 9 April 2014, bangsa Indonesia seakan dipecah pada dua kubu, pertarungan antar kubu garuda merah dan kubu kotak-kotak. Pertarungan kali ini terasa sangat penuh dengan intrik-intrik sosial yang membuat banyak khalayak pun juga bingung harus ikut nahkoda yang mana. Setiap capres dan cawapres memiliki gaya dan budaya komunikasi yang cukup berkebalikan, tak heran jika kita dapat menemukan banyak perbedaan pada kedua kubu tersebut.

Bak pertandingan Persija lawan Persib yang penuh dengan persaingan namun akan satu disaat Indonesia melawan Malaysia. Kini bangsa ini terpecah pada dua konsentrasi, satu pihak Prabowo-Hatta, satu pihak lain Jokowi-JK, yang nantinya akan kembali satu setelah salah satu diantara mereka memenangkan persaingan simpati ini. Pembahasan intinya dalam tulisan ini mengenai Probowo dan Jokowi.

            Antara dukungan dan simpati publik, itulah frase inti dari tulisan berikut ini. Dukungan dan simpati menjadi sebuah topik yang hangat dibicarakan, bagaimana sebuah rasionalitas dikalahkan oleh tingkah emosional masyarakat kita saat ini. Hal ini rasanya wajar saja, karena memang merebut simpati publik merupakan hal ini yang menjadi faktor utama untuk pemenangan kursi RI-1 tersebut.

Strategi pertama menjadikan dirinya sebagai The Darling of Public. Seperti yang dituliskan pada buku PR WAR, “The darling of public mencoba untuk menjelaskan apa yang membuat bangsa Indonesia jatuh hati pada seseorang, institusi, atau produk sebuah perusahaan” (Nova, 2014: 1775). Disini kita melihat bahwa kedua kubu memiliki darling-nya masing-masing.

Prabowo dengan atas nama masyarakat kecil, petani, dan kaum buruh mendapat simpati publik yang cukup baik untuk menyokong dirinya menjadikan dirinya sebagai pahlawan disaat Ibu Pertiwi ini sedang merasa kesusahan. Prabowo dalam setiap iklannya pun selalu menampilkan sisi miskinnya negeri ini, sehingga seakan-akan penyelamat bangsa yang dapat menarik perhatian dan dukungannya terhadap tujuan kursi pertama tersebut.

 

Jokowi dalam setiap aksinya memang sudah menjadi media darling, terlihat semenjak menjadi Walikota Solo yang selalu menjadi buruan empuk para wartawan. Melalui media-media tersebut Jokowi dengan keluguan dan senyum sumringahnya menampilkan sosok orang desa yang mampu membereskan banyak persoalah pemerintah hingga simpatinya pun naik hingga Jokowi menjadi DKI-1. Kini Jokowi ingin mendulang kembali kesuksesannya setelah merebut simpati publik.

Strategi kedua dalam merebut simpati publik dengan mengemas derita dalam setiap kegiatan medianya. Mengemas derita sebenarnya ini juga yang dilakukan oleh Presiden Indonesia saat ini, SBY. Ketua Umum Partai Demokrat ini telah merebut simpati publik dengan lihai, yakni setelah mengundurkan diri dari jabatan menterinya yang seakan-akan telah dianiaya mental oleh Megawati yang pada saat itu menjadi Presiden. Kesempatan itulah SBY mengemas penderitaan sebagai menteri yang dilupakan dibungkus dengan sangat rapi hingga secara tiba-tiba bersama Partai Demokrat meraup simpati publik, menang Pemilu Presiden 2004 dan 2009.

Prabowo dalam hal ini juga sebenarnya melakukan pengemasan derita, disaat dicecar dengan kasusnya yang menjadikan dia diberhentikan dari Angkatan Darat malah menjadi sebuah senjatanya untuk kampanye. Hal tersebut pernah dikatakannya saat debat capres ketiga yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Prabowo meyakini masyarakat bahwa kondisi saat itu sangatlah riskan, berbahaya sehingga perlu baginya untuk berinisiatif melakukan tindakan penculikan tersebut. Hingga akhirnya salah satu banner besar terpampang di daerah Grogol menggambarkan sang korban penculikan yang menyatakan dengan jelas dukungannya terhadap pasangan nomor urut satu tersebut. Ungkapan yang memang kenyataan tersebut secara rasional sangat salah, namun apa daya, rasa emosional masyarakat tak terbendung pun mengalahkan rasionalitas tersebut.

Jokowi melakukan pengemasan derita bukan dari kasus yang menimpanya, justru dari mimik wajahnya yang lucu seakan dibuat lelah mengurusi ibukota. Terlihat juga beberapa kali semenjak jadi Gubernur, Jokowi yang berpostur tubuh kurus ini sering periksa ke dokter hanya untuk menjaga staminanya dalam bekerja. Derita hal tersebut ternyata cukup ampuh untuk menemaninya menjadi salah satu capres yang memegang nomor urut dua.

Strategi ketiga adalah mendadak religius. Sebuah hal yang sering dilakukan oleh para tahanan KPK disaat mereka dinyatakan sebagai terdakwa dalam suatu kasus. Kita bisa melihat bagaimana para tahanan KPK, utamanya untuk perempuan yang tiba-tiba saja mengenakan kerudung, dari pejabat koruptor hingga ‘perempuan’ seorang koruptor. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan capres 2014 melakukan hal serupa, ini buktinya.

Prabowo dan Jokowi, keduanya sama-sama dikenal bukan sebagai tokoh agamais, atau minimal bukan sebagai tokoh yang akrab dengan agama. Namun apa yang terjadi sekarang, sungguh menarik jika kita perhatian. Mendekati penghujung 9 Juli 2014, masing-masing capres merapatkan diri ke pemuka agama baik itu pesantren, organisasi daerah, hingga organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU. Mendadak religius juga ternyata bisa menjadikan jaring yang dapat menangkap simpati publik.

Itulah tiga strategi yang dapat merebut simpati publik hingga nantinya mendukung mereka, salah satu diantaranya. Selain menelisik hal tersebut, selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas secara semiotika dari kedua capres tersebut dalam 6 karakterisitik komunikasi politik menurut Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A. Pembahasan mengenai analisis komunikasi politik ini akan dibahas secara komparatif sehingga selalu menampilkan sisi Prabowo dan sisi Jokowi yang akan dibandingkan secara subjektif.

 

Hargai penulis secara ilmiah dengan memasukkan:

Freddy Yakob. 2013. Capres Mencuri Simpati Publik.

Postingan Populer